BAB I
PENDAHULUAN
I. Pendahuluan
Manusia merupakan subyek dan obyek dalam pembangunan, artinya manusia menempati posisi sentral dan
strategis. Pembangunan sumber daya manusia hanya dapat dilakukan melalui upaya pendidikan, baik di lingkungan keluarga
(pendidikan informal), di sekolah (pendidikan formal), dan di masyarakat
(pendidikan non formal). Pada Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Bab II pasal 3 dijelaskan bahwa : tujuan
pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Konsekuensi dalam membentuk manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang maha Esa tersebut, tidak lepas dari
peranan pendidikan agama.
Pendidikan agama merupakan salah satu pendidikan yang membantu perkembangan manusia, khususnya membantu
dalam perkembangan etika dan moral. Dengan demikian,
pendidikan agama di Indonesia mendapat porsi yang cukup dalam sistem
pendidikan. Diharapkan, nantinya melalui pendidikan agama dapat meningkatkan
etika moral dalam rangka memelihara kerukunan bangsa, saling hormat menghormati
antar pemeluk agama yang berbeda. Kautsar Azhari Noer mempertegas bahwa pendidikan
agama mempunyai tempat yang sangat strategis dan penting dalam sistem pendidikan nasional secara keseluruhan,
karena pendidikan agama pada intinya
berujung pada pendidikan akhlak (Noer dalam Sumarthana, 2001:234 )
Bertitik tolak dari uraian di atas dan apabila dikaitkan dengan pengertian
pendidikan agama Hindu akan terlihat menjadi selaras menuju terbentuknya
karakteristik manusia Indonesia humanis. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari pengertian pendidikan
Agama Hindu sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik untuk beriman
dan berakhlak mulia dalam
mengamalkan ajaran agama Hindu dari sumber utamanya kitab suci: Sruti, Smerti, SiIa, Acara dan Atmanastuti. (Kurikulum Pendidikan
Agama Hindu untuk SMA, 2004).
Tujuan utama dari
pembelajaran pendidikan Agama Hindu adalah
membentuk manusia berbudi luhur, susila, dan bijaksana, yaitu manusia yang dapat menghayati
hakikat dari kehidupan yang penuh
dengan tantangan dan penderitaan, manusia yang benar-benar mengetahui sebab-musabab
sampai terjadinya penderitaan dan yakin bahwa betapapun bentuk penderitaan itu akan dapat dilenyapkan, karena
telah diketahui jalan yang dapat membebaskan manusia dari penderitaan (Arsada, 2006:2).
Pengembangan pendidikan Agama Hindu di Indonesia dan khususnya di Bali dapat
dikatakan belum memenuhi harapan umat Hindu. Hal ini disebabkan belum adanya
lembaga pendidikan Hindu dari tingkat sekolah dasar sampai menengah yang
berbasiskan Hindu, sehingga Pendidikan Agama Hindu pada lembaga pendidikan formal
masih terbatas yakni hanya dapat alokasi waktu 2 (dua) jam pelajaran
perminggu. Di samping itu tidak adanya pembelajaran pendidikan Agama Hindu di
luar jam-jam sekolah seperti pasraman, atau sejenisnya yang khusus memberikan pendalaman
pendidikan Agama Hindu. Menurut Widyastana (2002:14) yang dimaksud
dengan sekolah berbasis Hindu adalah sekolah yang di samping memberi pelajaran
formal sesuai kurikulum yang telah ditetapkan pemerintah, dalam pelajaran agama
hanya memberi pelajaran agama Hindu saja bagi seluruh sisyanya, menambahkan
pelajaran-pelajaran/ekstrakurikuler untuk meningkatkan pengetahuan dan keimanan
mereka terhadap Tuhan serta mampu menerapkan nilai-nilai Hindu dalam kehidupan
nyata.
Perkembangan dewasa ini, pedidikan agama seakan-akan hanya menjadi tanggung
jawab guru di sekolah, padahal
penanaman nilai-nilai ajaran agama sangat sulit dan membutuhkan keberlanjutan.
Sehingga tanggung jawab bersama antara
guru di sekolah dan masyarakat
khususnya orang tua sangat dibutuhkan. Kenyataan tentang tidak
berperannya pendidikan Hindu di Indonesia tersebut dibenarkan oleh Wiana
(2000:21). Menurutnya, dalam penerapan nilai-nilai ajaran Hindu khususnya di
Bali telah terjadi pergeseran dari konsep dasar agama Hindu yang sebenarnya.
Pergeseran tersebut terjadi karena dalam kurun waktu yang cukup lama umat Hindu
di Indonesia tidak mendapat pendidikan dan pembinaan keagamaan yang bersistem
dan berkelanjutan. Pembinaan yang dilakukan selama ini terlalu tradisional dan
terhenti sebatas aspek ritual semata. Akibatnya terdapat praktek-praktek
beragama Hindu yang telah jauh menyimpang dari nilai-nilai ajaran Weda yang
sesungguhnya. Pelaksanaan ajaran Agama Hindu di Bali lebih menekankan pada
aspek ritual (upacara) dan belum disertai dengan upaya memberikan pemahaman terhadap
nilai-nilai ketuhanan dalam Weda.
Peningkatan
kualitas pendidikan agama Hindu melihat penjelasan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 di atas seharusnya tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah
melainkan juga menjadi masyarakat
secara umum. Berdasarkan kajian sejarah, dalam masa perkembangan Agama
Hindu di Indonesia, model Ashram atau pasraman pernah menjadi model pendidikan keagamaan yang
dikembangkan oleh masyarakat yang kemudian mengalami perubahan nama menjadi
mandala. Berdasarkan penelitian Pigeaud dan Koentjaraningrat (dalam Suryanto
2004:12) dinyatakan bahwa pada zaman Majapahit, terdapat lembaga pendidikan
Hindu yang bernama mandala, yang merupakan pusat pendidikan agama bagi rakyat
umum yang diselenggarakan oleh masyarakat. Pigeaud (dalam Suryanto 2004:13)
menyatakan bahwa setelah Islam masuk ke Indonesia, secara berangsur-angsur
mandala diubah menjadi pesantren yaitu lembaga pendidikan tradisional Islam
yang berkembang pesat di Indonesia saat ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Karakteristik Dasar Pendidikan Pasraman
Swami
Sivananda dalam All About Hinduism
(1988:259) menjelaskan tujuan pendidikan adalah untuk mengantarkan menuju jalan
yang benar dan mewujudkan kebajikan, yang dapat memperbaiki karakter seseorang
(menuju karakter yang mulia) yang dapat menolong seseorang mencapai kebebasan,
kesempurnaan dan pengetahuan tentang Sang Diri (Àtmà), dan dengan demikian seseorang akan dapat hidup dengan
kejujuran, hal-hal yang mengarahkan seperti tersebut adalah merupakan pendidikan
yang sejati. Shri Sathya Narayana menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah
membangun karakter yang baik. Karakter adalah kepribadian seseorang yang
menyangkut aspek moralitas, intelegensia, dan perilaku seseorang.(Sudarsana, 2008)
Pendidikan
berbasis masyarakat memiliki asumsi bahwa setiap komponen dari masyarakat
memiliki potensi yang dapat dikembangkan untuk memecahkan problem
sosial masyarakat dengan memobilisasi aksi bersama. Masyarakat dalam
konteks pendidikan berbasis adalah agen, tujuan sekaligus fasilitator dalam
proses pendidikan. Formulasi pendididikan berbasis masyarakat bertumpu pada
tiga pilar utama yaitu “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat”.
Pendidikan dari masyarakat artinya pendidikan merupakan jawaban dari apa yang
menjadi kebutuhan masyarakat. Pendidikan oleh masyarakat artinya masyarakat
merupakan pelaku atau subjek pendidikan yang aktif, bukan hanya sekedar sebagai
objek pendidikan sehingga masyarakat betul-betul memiliki, bertangungjawab dan
peduli terhadap pendidikan. (Noer, 2001:13)
Implementasi
pendidikan berbasis masyarakat diharapkan setiap warga masyarakat dapat belajar
bersama dengan memanfaatkan segala potensi yang ada. Para guru, dewan
pendidikan, pengelola dan pelajar adalah semua warga masyarakat dari semua
generasi. Para guru tidaklah harus dari guru sekolah, akan tetapi mereka yang
memiliki pengalaman atau keahlian dapat dijadikan sebagai guru. Guru bertindak
sebagai pemimpin yang mengambil peran dalam mencarikan jalan para warga untuk
mencapai pengetahuannya secara terbuka dan memberikan kebebasan untuk mengkaji
dengan cara pandang yang berbeda.
Pendidikan
yang berbasis pada masyarakat dapat dimungkinkan hubungan antara guru dengan sisya
berada dalam posisi sejajar sebagai subjek pendidikan. Jika selama ini sisya
dalam proses pembelajaran umumnya berada dalam dominasi guru, maka dalam
konteks pendidikan berbasis masyarakat sisya adalah pelaku utama dalam
mengembangkan, mencari pengetahuan yang ia butuhkan. Guru adalah fasilitator
sejati sebagai teman diskusi yang memberikan arah sisya dalam menggapai
pengetahuan dan cita-citanya secara mandiri.
Ciri
khas ashram adalah adanya asrama atau pondok untuk para sisyanya. Model pembelajaran ashram seperti ini sangat baik untuk
pembentukan kepribadian sisya. Setiap
hari sisya dibimbing untuk melakukan
praktik persembahyangan dan kegiatan keagamaan lainnya di samping pemahaman
keagamaan yang cukup kuat. Dengan demikian pembelajaran agama tidak hanya
dilakukan di kelas tetapi juga di luar kelas selama 24 jam.
B. Pasraman Sebagai Media Pendidikan Karakter
Pendidikan
karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga
sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan
tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi
manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen
(stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu
sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas
hubungan, penanganan atau pengelolaan mata ajaran, pengelolaan sekolah,
pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana
prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
(Wiguna dalam www.majalahraditya.com)
Adapun dalam agama Hindu pendidikan karakter berkaitan dengan
karakter manusia yang mempengaruhi perilaku. Ada dua kecenderungan yang
mempengaruhi karakter manusia, yaitu sifat-sifa kedewataan (daivi sampat) dan
sifat-sifat keraksasaan (asuri sampat). Kedua kecenderungan ini secara
langsung maupun tidak langsung akan membentuk karakter manusia. Bila seseorang
berkecenderungan daivi sampat yang menonjol, maka orang tersebut senantiasa
akan berbuat baik, namun bila kecenderungan asuri sampat maka ia akan
menunjukkan perilakunya yang buruk.
Karakter negatif manusia dapat diperbaiki dengan berbagai cara di antaranya melatih seseorang untuk selalu berbuat baik. Melalui pendidikan karakter, manusia dapat dibentuk. Pendidikan karakter agama Hindu merupakan usaha atau upaya melalui pendidikan untuk merubah sifat buruk menjadi sifat dewata. Orang yang berkarakter adalah orang yang ekspresi hidupnya mengarah pada nilai-nilai kemanusiaan atau nilai-nilai spiritual. Menurut teks Hindu, karakter adalah sesuatu yang menjiwai tindakan-tindakan manusia di dalam kehidupan sehari-hari. Apa yang muncul, yang terekspresi di dalam pola berpikir, berbicara maupun bertindaknya tergantung dari karakternya.
Karakter negatif manusia dapat diperbaiki dengan berbagai cara di antaranya melatih seseorang untuk selalu berbuat baik. Melalui pendidikan karakter, manusia dapat dibentuk. Pendidikan karakter agama Hindu merupakan usaha atau upaya melalui pendidikan untuk merubah sifat buruk menjadi sifat dewata. Orang yang berkarakter adalah orang yang ekspresi hidupnya mengarah pada nilai-nilai kemanusiaan atau nilai-nilai spiritual. Menurut teks Hindu, karakter adalah sesuatu yang menjiwai tindakan-tindakan manusia di dalam kehidupan sehari-hari. Apa yang muncul, yang terekspresi di dalam pola berpikir, berbicara maupun bertindaknya tergantung dari karakternya.
Pasraman adalah lembaga pendidikan khusus bidang agama Hindu.
Lembaga ini merupakan alternatif, karena pendidikan agama Hindu yang diajarkan
di sekolah formal dari tingkat sekolah dasar sampai dengan di sekolah tinggi
agama Hindu. Pada sekolah formal agama Hindu diajarkan sebagai ilmu
pengetahuan, sedangkan di pasraman tidak sebatas ilmu pengetahuan, melainkan
sebagai bentuk latihan disiplin spiritual dan latihan menata hidup yang baik.
Kata pasraman berasal dari kata “asrama” (sering ditulis dan
dibaca ashram) yang artinya tempat berlangsungnya proses belajar mengajar atau
pendidikan. Pendidikan pasraman menekankan pada disiplin diri, mengembangkan
akhlak mulia dan sifat-sifat yang rajin, suka bekerja keras, pengekangan hawa
nafsu dan gemar untuk menolong orang lain. Konsep pasraman yang berkembang
sekarang diadopsi dari sistem pendidikan Hindu zaman dahulu di India,
sebagaimana disuratkan dalam kitab suci Weda dan hingga kini masih tetap
terpelihara. Sistem ashram menggambarkan hubungan yang akrab antara para guru
(acarya) dengan para siswanya, bagaikan dalam sebuah keluarga. Oleh karena itu,
sistem ini dikenal pula dengan dengan para nama sistem pendidikan gurukula.
Beberapa anak didik tinggal di pasraman bersama para guru sebagai anggota
keluarga dan para guru bertindak sebagai orang tua siswa sendiri. Proses
pendidikan di pasraman dari masa lampau itu masih tetap berlangsung sampai saat
ini dikenal pula dengan istilah lainnya yakni parampara, di Jawa dan di Bali
dikenal dengan istilah padepokan atau aguron-guron. Dewasa ini di India
terdapat ribuan pasraman yang diasuh oleh guru-guru kerohanian, bahkan
cabang-cabang perguruan ini telah berkembang di Eropa dan di Indonesia.
Proses pembelajaran adalah suatu sistem. dalam proses ini ada beberapa komponen yang saling terkait dalam rangka mencapai tujuan. Komponen-komponen tersebut adalah siswa, guru, materi (bahan ajar), strategi (model pembelajaran). strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai pola umum aktivitas guru dan siswa di dalam mewujudkan kegiatan kegiatan belajar-mengajar. Dari pola umum kegiatan itu dapat dilihat macam dan urutan kegiatan yang ditampilkan oleh guru dan siswa. Dalam hal ini ada strategi yang lebih menekankan pada aktivitas guru, namun ada juga yang menekankan kegiatan pada siswa. Orientasi dan pendekatan ke depan haruslah ditekankan pada aktivitas siswa.
Proses pembelajaran adalah suatu sistem. dalam proses ini ada beberapa komponen yang saling terkait dalam rangka mencapai tujuan. Komponen-komponen tersebut adalah siswa, guru, materi (bahan ajar), strategi (model pembelajaran). strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai pola umum aktivitas guru dan siswa di dalam mewujudkan kegiatan kegiatan belajar-mengajar. Dari pola umum kegiatan itu dapat dilihat macam dan urutan kegiatan yang ditampilkan oleh guru dan siswa. Dalam hal ini ada strategi yang lebih menekankan pada aktivitas guru, namun ada juga yang menekankan kegiatan pada siswa. Orientasi dan pendekatan ke depan haruslah ditekankan pada aktivitas siswa.
Pendidikan agama Hindu merupakan salah satu bidang studi yang
harus dipelajari sebagai persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan pada semua
jenjang pendidikan yang didesain dan diberikan kepada pebelajar yang beragama
Hindu dengan tujuan untuk mengembangkan keberagamaan mereka. Tujuan pendidikan
agama Hindu tidak terbatas pada transfer ilmu pengetahuan (Knowledge) saja,
sebenarnya tujuan pendidikan agama Hindu sejalan dengan tujuan pendidikan
nasional, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
Nomor 20 Tahun 2003, yakni bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti,
memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat membangun
manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta
bersama-sama bertanggungjawab terhadap pembangunan bangsa. Oleh karena itu
jelas bahwa arah dan strategi pendidikan nasional adalah terbinanya
manusia-manusia Indonesia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan
memperhatikan aspek-aspek kecerdasan, keterampilan dan keahlian.
Pendidikan keagamaan memegang andil yang tidak kecil dalam
rangka mencapai tujuan pendidikan nasional. Pada pasal 1 ayat 1 Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 dijelaskan bahwa ada empat
komponen tujuan pendidikan yang pencapaiannya menjadi beban pendidikan agama,
yaitu: (1) memiliki kekuatan spiritual keagamaan; (2) pengendalian diri; (3)
kepribadian; dan (4) akhlak mulia.
Keempat komponen di atas menunjukkan betapa besar pengaruh
pendidikan agama dan betapa strategisnya posisi guru agama dalam upaya
mewujudkan tujuan pendidikan yang diharapkan tersebut di atas. Dengan kata lain
guru agama memiliki peranan yang besar dalam membina moralitas bangsa.
Terkait dengan konsep di atas dimaknai bahwa pendidikan agama
Hindu menghendaki perubahan tingkah laku secara menyeluruh, utuh, dan integral
yang meliputi seluruh aspek (potensi) yang ada pada diri manusia karena manusia
merupakan makhluk hidup yang paling sempurna di antara makhluk hidup ciptaan
Tuhan lainnya, seperti tertuang dalam kitab sarasamuccaya Sloka 2 dan 4 sebagai
berikut:
Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wwang juga wenang gumawayaken ikang subhasubha karma,kuneng panentasakêna ring subhakarma juga ikangasubhakarma phalaning dadi wwang.
Artinya:
Diantara semua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi
manusia sajalah yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk, leburlah
ke dalam perbuatan baik segala perbuatan yang buruk itu, demikianlah gunanya
(pahalanya) menjadi manusia.
Apan ikang dadi wwang, uttama juga ya, nimittaning mangkana,wênang ya tumulung
awaknya sangkeng sangsÄra, makasÄdhanangsubhakarma, hinganing kottamaning dadi wwang ika.’’
Artinya:
Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama,
sebabnya demikian karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara (lahir
dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik, demikianlah keuntungannya dapat
menjelma menjadi manusia.
Kesempurnaan tersebut dilihat dari potensi dasar yang
dimiliki oleh manusia itu sendiri, yaitu potensi yang memungkinkan mereka untuk
berkembang dan memberdayakan alam semesta beserta segala isinya sebagai wahana
mengembangkan diri dan mempertahankan kehidupannya. Ada tiga potensi dasar yang
dimiliki oleh manusia, yaitu Sabda (kemampuan untuk bersuara), Bayu (Potensi
berupa tenaga) dan Idep (potensi akal pikiran) yang dikenal dengan Tri Pramana.
Tumbuh-tumbuhan memiliki satu potensi dasar, yaitu tenaga untuk hidup atau bayu
yang disebut Eka Pramana. Hewan memiliki dua potensi dasar, yaitu tenaga
(bayu) dan sabda (suara) yang disebut Dwi Pramana. Dan manusia dikatakan paling
sempurna karena memiliki tiga potensi, yaitu bayu (tenaga), sabda (suara) dan
idep (akal-pikiran) yang disebut Tri Pramana. Dalam konsep Bloom disebut
kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Dengan memiliki tiga potensi dasar tersebut manusia dapat membedakan perbuatan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Kemampuan berpikir atau akal yang dimilikinya dapat mengarahkan manusia dari perbuatan yang kurang baik dan mampu memperbaiki perilaku untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan. Kemampuan tersebut menjadi potensi utama bagi manusia untuk terus meningkatkan kualitas hidupnya. Secara fisik manusia adalah makhluk terlemah, tidak tahan panas, hujan, dingin, kulitnya mudah tergores, namun mereka mampu mengatasi segala kelemahan fisik yang dimilikinya dengan mengembangkan dan menciptakan teknologi sehingga mereka dapat menciptakan suasana yang aman dan nyaman, sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Dengan akal dan pikiran yang dimilikinya, manusia mampu mendayagunakan alam semesta beserta segala isinya untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya, namun pendayagunaan alam harus diimbangi dengan kecerdasan serta sikap yang arif dan bijaksana dengan penuh pertimbangan agar kelestarian alam senantiasa terjaga dengan baik, apabila alam tidak lestari, dapat menimbulkan bencana yang sangat dahsyat. Oleh karena itu mewujudkan manusia yang cerdas dan berprilaku yang baik hendaknya menjadi visi atau cita-cita pendidikan dan pembelajaran. Agar pendidikan nasional mampu mencapai tujuan tersebut, dibutuhkan suatu strategi yang mantap yaitu langkah-langkah yang disusun secara terencana dan sistematis dengan menggunakan pendekatan, metode dan teknik tertentu sebagai pola pemikiran dan perilaku pendidikan yang dapat membantu peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.
Dengan memiliki tiga potensi dasar tersebut manusia dapat membedakan perbuatan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Kemampuan berpikir atau akal yang dimilikinya dapat mengarahkan manusia dari perbuatan yang kurang baik dan mampu memperbaiki perilaku untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan. Kemampuan tersebut menjadi potensi utama bagi manusia untuk terus meningkatkan kualitas hidupnya. Secara fisik manusia adalah makhluk terlemah, tidak tahan panas, hujan, dingin, kulitnya mudah tergores, namun mereka mampu mengatasi segala kelemahan fisik yang dimilikinya dengan mengembangkan dan menciptakan teknologi sehingga mereka dapat menciptakan suasana yang aman dan nyaman, sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Dengan akal dan pikiran yang dimilikinya, manusia mampu mendayagunakan alam semesta beserta segala isinya untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya, namun pendayagunaan alam harus diimbangi dengan kecerdasan serta sikap yang arif dan bijaksana dengan penuh pertimbangan agar kelestarian alam senantiasa terjaga dengan baik, apabila alam tidak lestari, dapat menimbulkan bencana yang sangat dahsyat. Oleh karena itu mewujudkan manusia yang cerdas dan berprilaku yang baik hendaknya menjadi visi atau cita-cita pendidikan dan pembelajaran. Agar pendidikan nasional mampu mencapai tujuan tersebut, dibutuhkan suatu strategi yang mantap yaitu langkah-langkah yang disusun secara terencana dan sistematis dengan menggunakan pendekatan, metode dan teknik tertentu sebagai pola pemikiran dan perilaku pendidikan yang dapat membantu peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.
C. Pasraman dalam Kebijakan Sisdiknas
Sudah
tidak diragukan lagi bahwa ashram memiliki kontribusi nyata dalam pembangunan
pendidikan. Apalagi dilihat secara historis, ashram memiliki pengalaman yang
luar biasa dalam membina dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, ashram mampu
meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki
masyarakat di sekelilingnya.(Sudarsana, 2008)
Pembangunan
manusia, tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau masyarakat
semata-mata, tetapi menjadi tanggung jawab semua komponen, termasuk dunia
ashram. Pasraman yang telah memiliki nilai historis dalam membina dan
mengembangkan masyarakat, kualitasnya harus terus didorong dan dikembangkan.
Proses pembangunan manusia yang dilakukan ashram tidak bisa dipisahkan dari
proses pembangunan manusia yang tengah diupayakan pemerintah.(Sudarsana, 2008)
Proses
pengembangan dunia ashram yang selain menjadi tanggung jawab internal ashram,
juga harus didukung oleh perhatian yang serius dari proses pembangunan
pemerintah. Meningkatkan dan mengembangkan peran serta ashram dalam proses
pembangunan merupakan langkah strategis dalam membangun masyarakat, daerah,
bangsa, dan negara. Terlebih, dalam kondisi yang tengah mengalami krisis (degradasi)
moral. Ashram sebagai lembaga pendidikan yang membentuk dan mengembangkan
nilai-nilai moral, harus menjadi pelopor sekaligus inspirator pembangkit moral
bangsa. Sehingga, pembangunan tidak menjadi hampa melainkan lebih bernilai dan
bermakna.
Pasraman
pada umumnya bersifat mandiri, tidak tergantung kepada pemerintah atau
kekuasaan yang ada. Karena sifat mandirinya itu, ashram bisa memegang teguh
kemurniannya sebagai lembaga pendidikan Hindu. Karena itu, ashram tidak mudah
disusupi oleh ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Hindu.
Pendidikan
ashram yang merupakan bagian dari Sistem Pendidikan Nasional memiliki 3 unsur
utama yaitu: 1) Pengasuh/Guru sebagai pendidik sekaligus pemilik ashram
dan para sisya; 2) Kurikulum
ashram; dan 3) Sarana peribadatan dan pendidikan, seperti Pura, Altar, dan Sabha Mandapan. Kegiatannya terangkum dalam "Tri Dharma Ashram"
yaitu: 1) Kesradhaan kehadapan
Ida Sang Hyang Widhi Wasa; 2) Pengembangan keilmuan yang bermanfaat; dan
3) Pengabdian kepada agama, masyarakat, dan negara. (Sudarsana, 2008)
Merujuk
pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
posisi dan keberadaan ashram sebenarnya memiliki tempat yang istimewa. Namun,
kenyataan ini belum disadari oleh mayoritas masyarakat Hindu. Karena kelahiran
Undang-undang ini masih amat belia dan belum sebanding dengan usia perkembangan
ashram di Indonesia. Keistimewaan ashram dalam sistem pendidikan nasional dapat
kita lihat dari ketentuan dan penjelasan pasal-pasal dalam Undang-udang
Sisdiknas sebagai berikut:
Dalam
Pasal 3 UU Sisdiknas dijelaskan bahwa Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Ketentuan ini tentu saja sudah berlaku dan diimplementasikan di ashram.
Ashram sudah sejak lama menjadi lembaga yang membentuk watak dan peradaban
bangsa serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbasis pada keimanan dan
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia.
Ketentuan
dalam BAB III tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, pada Pasal 4
dijelaskan bahwa: (1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. (2)
Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem
terbuka dan multimakna. (3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu
proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang
hayat. (4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan,
membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses
pembelajaran. (5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya
membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. (6)
Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat
melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan
pendidikan. Semua prinsip penyelenggaraan pendidikan tersebut sampai saat ini
masih berlaku dan dijalankan di ashram. Karena itu, ashram sebetulnya telah
mengimplementasikan ketentuan dalam penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan
Sistem pendidikan nasional.
Tidak
hanya itu, keberadaan ashram sebagai lembaga pendidikan yang didirikan atas
peran serta masyarakat, telah mendapatkan legitimasi dalam Undang-undang
Sisdiknas. Ketentuan mengenai Hak dan Kewajiban Masyarakat pada Pasal 8
menegaskan bahwa Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Sedangkan dalam Pasal
9 dijelaskan bahwa Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya
dalam penyelenggaraan pendidikan. Ketentuan ini berarti menjamin eksistensi dan
keberadaan ashram sebagai lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat
dan diakomodir dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini dipertegas lagi oleh
Pasal 15 tentang jenis pendidikan yang menyatakan bahwa Jenis pendidikan
mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan
khusus. Pasraman adalah salah satu jenis pendidikan yang concern di bidang keagamaan.
Secara khusus, ketentuan tentang
pendidikan keagamaan ini dijelaskan dalam Pasal 30 Undang-Undang Sisdiknas yang
menegaskan: (1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah
dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. (2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan
peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan
nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (3) Pendidikan keagamaan dapat
diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
(4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, ashram, dan bentuk
lain yang sejenis.
Labih
jauh lagi, saat ini ashram tidak hanya berfungsi sebagai sarana pendidikan
keagamaan semata. Namun, dalam perkembangannya ternyata banyak juga ashram yang
berfungsi sebagai sarana pendidikan nonformal, dimana para sisyanya dibimbing dan dididik untuk memiliki skill dan
keterampilan atau kecakapan hidup sesuai dengan bakat para sisyanya. Ketentuan mengenai lembaga pendidikan nonformal ini
termuat dalam Pasal 26 yang menegaskan: (1) Pendidikan nonformal
diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang
berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal
dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. (2) Pendidikan
nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada
penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan
kepribadian profesional. (3) Pendidikan nonformal meliputi pendidikan
kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan
pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan
pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan
untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. (4) Satuan pendidikan nonformal
terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat
kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang
sejenis. (5) Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang
memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk
mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. (6) Hasil pendidikan
nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah
melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah
atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
(Sudarsana, 2008)
Keberadaan
pasraman sebagai bagian dari peran serta masyarakat dalam pendidikan juga
mendapat penguatan dari UU Sisdiknas. Pasal 54 menjelaskan: (1) Peran
serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok,
keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2)
Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil
pendidikan.
Bahkan,
pasraman yang merupakan Pendidikan Berbasis Masyarakat diakui keberadaannya dan
dijamin pendanaannya oleh pemerintah maupun pemerintah daerah. Pasal 55
menegaskan: (1) Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis
masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama,
lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. (2)
Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan
kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai
dengan standar nasional pendidikan. (3) Dana penyelenggaraan pendidikan
berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah,
pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. (4) Lembaga pendidikan berbasis
masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain
secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
BAB III
PENUTUP
III. Kesimpulan
Usaha
untuk membangun atau meningkatkan mutu pendidikan menuju pendidikan yang
berkualitas sangat tergantung dari kualitas SDM umat Hindu di samping keinginan
baik aparat pemerintah dan pemegang kebijakan, dan terkait pula dengan
kebijakan pendidikan nasional umumnya. Dalam masa transisi, kualitas pendidikan
dapat ditingkatkan melalui berbagai aktivitas dalam pendidikan formal, informal
dan nonformal serta jaringan internasional dengan sungguh-sungguh memperhatikan
aspek (pendidikan) moralitas. Di negara maju sekalipun, moralitas ataupun
integritas seseorang dan masyarakat sangat menentukan.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas RI. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas RI.
Geriya, Wayan. 2004. Pasraman dan
revitalisasi jati diri. http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2004/1/9/op2.htm.
Kajeng, Nyoman. 1997. Sarasamuccaya.
Surabaya: Paramita.
Mantik, Agus. 2006. Pasraman dalam
rangka sisdiknas. http://www.iloveblue.com/printnews.php?jenis=article&pid=1708.
Noer,
Kautsar Azhari, 2001. Pluralisme dan
Pendidikan di Indonesia : Menggugat Ketidak Berdayaan Sistem Pendidikan Agama, Dalam
Jurnal Pluralisme No. 7 Edisi Juni 2006, Yogyakarta :
Institut Dian.
Sapta
Wiguna, I Wayan. 2015. Pesraman Sebagai Media Pendidikan. http://www.majalahraditya.com. Diakses Tanggal 7 Mei 2016.
Sudarsana,
I Ketut. 2008. Pengembangan Asram dalam Kerangka Sisdiknas. https://iketutsudarsana.file.wordprees.com. Diakses Tanggal 7 Mei 2016.
Suryanto,
2004, ‘Problematika Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Hindu di Indonesia,
Sebuah Kajian dari Perspektif Pendidikan Hindu Tradisional Model Gurukula di
India’, Tesis Universitas
Negeri Yogyakarta: Yogyakarta
Tilaar. 2001. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta;
Rineka Cipta
Titib, Made. 1996. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya
: Paramita.
Wiana, I. K., Penerapan
Ajaran Weda di Bali, Majalah Hindu Raditya, Juni 2000, hal 26.