Sabtu, 11 Juni 2016

PASRAMAN SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN HINDU DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL



BAB I
PENDAHULUAN


I. Pendahuluan
Manusia merupakan subyek dan obyek dalam pembangunan, artinya manusia menempati posisi sentral dan strategis. Pembangunan sumber daya manusia hanya dapat dilakukan melalui upaya pendidikan, baik di lingkungan keluarga (pendidikan informal), di sekolah (pendidikan formal), dan di masyarakat (pendidikan non formal). Pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Bab II pasal 3 dijelaskan bahwa : tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Konsekuensi dalam membentuk manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang maha Esa tersebut, tidak lepas dari peranan pendidikan agama.
Pendidikan agama merupakan salah satu pendidikan yang membantu perkembangan manusia, khususnya membantu dalam perkembangan etika dan moral. Dengan demikian, pendidikan agama di Indonesia mendapat porsi yang cukup dalam sistem pendidikan. Diharapkan, nantinya melalui pendidikan agama dapat meningkatkan etika moral dalam rangka memelihara kerukunan bangsa, saling hormat menghormati antar pemeluk agama yang berbeda. Kautsar Azhari Noer mempertegas bahwa pendidikan agama mempunyai tempat yang sangat strategis dan penting dalam sistem pendidikan nasional secara keseluruhan, karena pendidikan agama pada intinya berujung pada pendidikan akhlak (Noer dalam Sumarthana, 2001:234 )
Bertitik tolak dari uraian di atas dan apabila dikaitkan dengan pengertian pendidikan agama Hindu akan terlihat menjadi selaras menuju terbentuknya karakteristik manusia Indonesia humanis. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari pengertian pendidikan Agama Hindu sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik untuk beriman dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran agama Hindu dari sumber utamanya kitab suci: Sruti, Smerti, SiIa, Acara dan Atmanastuti. (Kurikulum Pendidikan Agama Hindu untuk SMA, 2004).
Tujuan utama dari pembelajaran pendidikan Agama Hindu adalah membentuk manusia berbudi luhur, susila, dan bijaksana, yaitu manusia yang dapat menghayati hakikat dari kehidupan yang penuh dengan tantangan dan penderitaan, manusia yang benar-benar mengetahui sebab-musabab sampai terjadinya penderitaan dan yakin bahwa betapapun bentuk penderitaan itu akan dapat dilenyapkan, karena telah diketahui jalan yang dapat membebaskan manusia dari penderitaan (Arsada, 2006:2).
Pengembangan pendidikan Agama Hindu di Indonesia dan khususnya di Bali dapat dikatakan belum memenuhi harapan umat Hindu. Hal ini disebabkan belum adanya lembaga pendidikan Hindu dari tingkat sekolah dasar sampai menengah yang berbasiskan Hindu, sehingga Pendidikan Agama Hindu pada lembaga pendidikan formal masih terbatas yakni hanya dapat alokasi waktu 2 (dua) jam pelajaran perminggu. Di samping itu tidak adanya pembelajaran pendidikan Agama Hindu di luar jam-jam sekolah seperti pasraman, atau sejenisnya yang khusus memberikan pendalaman pendidikan Agama Hindu.             Menurut Widyastana (2002:14) yang dimaksud dengan sekolah berbasis Hindu adalah sekolah yang di samping memberi pelajaran formal sesuai kurikulum yang telah ditetapkan pemerintah, dalam pelajaran agama hanya memberi pelajaran agama Hindu saja bagi seluruh sisyanya, menambahkan pelajaran-pelajaran/ekstrakurikuler untuk meningkatkan pengetahuan dan keimanan mereka terhadap Tuhan serta mampu menerapkan nilai-nilai Hindu dalam kehidupan nyata.
Perkembangan dewasa ini, pedidikan agama seakan-akan hanya menjadi tanggung jawab guru di sekolah, padahal penanaman nilai-nilai ajaran agama sangat sulit dan membutuhkan keberlanjutan. Sehingga  tanggung jawab bersama antara guru di sekolah dan masyarakat khususnya orang tua sangat dibutuhkan. Kenyataan tentang tidak berperannya pendidikan Hindu di Indonesia tersebut dibenarkan oleh Wiana (2000:21). Menurutnya, dalam penerapan nilai-nilai ajaran Hindu khususnya di Bali telah terjadi pergeseran dari konsep dasar agama Hindu yang sebenarnya. Pergeseran tersebut terjadi karena dalam kurun waktu yang cukup lama umat Hindu di Indonesia tidak mendapat pendidikan dan pembinaan keagamaan yang bersistem dan berkelanjutan. Pembinaan yang dilakukan selama ini terlalu tradisional dan terhenti sebatas aspek ritual semata. Akibatnya terdapat praktek-praktek beragama Hindu yang telah jauh menyimpang dari nilai-nilai ajaran Weda yang sesungguhnya. Pelaksanaan ajaran Agama Hindu di Bali lebih menekankan pada aspek ritual (upacara) dan belum disertai dengan upaya memberikan pemahaman terhadap nilai-nilai ketuhanan dalam Weda.
Peningkatan kualitas pendidikan agama Hindu melihat penjelasan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 di atas seharusnya tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah melainkan juga menjadi masyarakat secara umum. Berdasarkan kajian sejarah, dalam masa perkembangan Agama Hindu di Indonesia, model Ashram atau pasraman pernah menjadi model pendidikan keagamaan yang dikembangkan oleh masyarakat yang kemudian mengalami perubahan nama menjadi mandala. Berdasarkan penelitian Pigeaud dan Koentjaraningrat (dalam Suryanto 2004:12) dinyatakan bahwa pada zaman Majapahit, terdapat lembaga pendidikan Hindu yang bernama mandala, yang merupakan pusat pendidikan agama bagi rakyat umum yang diselenggarakan oleh masyarakat. Pigeaud (dalam Suryanto 2004:13) menyatakan bahwa setelah Islam masuk ke Indonesia, secara berangsur-angsur mandala diubah menjadi pesantren yaitu lembaga pendidikan tradisional Islam yang berkembang pesat di Indonesia saat ini.




BAB II
PEMBAHASAN

A. Karakteristik Dasar Pendidikan Pasraman
            Swami Sivananda dalam All About Hinduism (1988:259) menjelaskan tujuan pendidikan adalah untuk mengantarkan menuju jalan yang benar dan mewujudkan kebajikan, yang dapat memperbaiki karakter seseorang (menuju karakter yang mulia) yang dapat menolong seseorang mencapai kebebasan, kesempurnaan dan pengetahuan tentang Sang Diri (Àtmà), dan dengan demikian seseorang akan dapat hidup dengan kejujuran, hal-hal yang mengarahkan seperti tersebut adalah merupakan pendidikan yang sejati. Shri Sathya Narayana menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah membangun karakter yang baik. Karakter adalah kepribadian seseorang yang menyangkut aspek moralitas, intelegensia, dan perilaku seseorang.(Sudarsana, 2008)
            Pendidikan berbasis masyarakat memiliki asumsi bahwa setiap komponen dari masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan  untuk memecahkan  problem sosial masyarakat dengan memobilisasi aksi  bersama. Masyarakat dalam konteks pendidikan berbasis adalah agen, tujuan sekaligus fasilitator dalam proses pendidikan. Formulasi pendididikan berbasis masyarakat bertumpu pada tiga pilar utama yaitu “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat”. Pendidikan dari masyarakat artinya pendidikan merupakan jawaban dari apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Pendidikan oleh masyarakat artinya masyarakat merupakan pelaku atau subjek pendidikan yang aktif, bukan hanya sekedar sebagai objek pendidikan sehingga masyarakat betul-betul memiliki, bertangungjawab dan peduli terhadap pendidikan.  (Noer, 2001:13)
            Implementasi pendidikan berbasis masyarakat diharapkan setiap warga masyarakat dapat belajar bersama dengan memanfaatkan segala potensi yang ada. Para guru, dewan pendidikan, pengelola dan pelajar adalah semua warga masyarakat dari semua generasi. Para guru tidaklah harus dari guru sekolah, akan tetapi mereka yang memiliki pengalaman atau keahlian dapat dijadikan sebagai guru. Guru bertindak sebagai pemimpin yang mengambil peran dalam mencarikan jalan para warga untuk mencapai pengetahuannya secara terbuka dan memberikan kebebasan untuk mengkaji dengan cara pandang yang berbeda. 
            Pendidikan yang berbasis pada masyarakat dapat dimungkinkan hubungan antara guru dengan sisya berada dalam posisi sejajar sebagai subjek pendidikan. Jika selama ini sisya dalam proses pembelajaran umumnya  berada dalam dominasi guru, maka dalam konteks pendidikan berbasis masyarakat sisya adalah pelaku utama dalam mengembangkan, mencari pengetahuan yang ia butuhkan. Guru adalah fasilitator sejati  sebagai teman diskusi yang memberikan arah sisya dalam menggapai pengetahuan dan cita-citanya secara mandiri.
            Ciri khas ashram adalah adanya asrama atau pondok untuk para sisyanya. Model pembelajaran ashram seperti ini sangat baik untuk pembentukan kepribadian sisya. Setiap hari sisya dibimbing untuk melakukan praktik persembahyangan dan kegiatan keagamaan lainnya di samping pemahaman keagamaan yang cukup kuat. Dengan demikian pembelajaran agama tidak hanya dilakukan di kelas tetapi juga di luar kelas selama 24 jam.

B. Pasraman Sebagai Media Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata ajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah. (Wiguna dalam www.majalahraditya.com)
Adapun dalam agama Hindu pendidikan karakter berkaitan dengan karakter manusia yang mempengaruhi perilaku.  Ada dua kecenderungan yang mempengaruhi karakter manusia, yaitu sifat-sifa kedewataan (daivi sampat) dan sifat-sifat keraksasaan (asuri sampat). Kedua kecenderungan ini  secara langsung maupun tidak langsung akan membentuk karakter manusia. Bila seseorang berkecenderungan daivi sampat yang menonjol, maka orang tersebut  senantiasa akan berbuat baik, namun bila kecenderungan asuri sampat maka ia akan menunjukkan perilakunya yang buruk.
Karakter negatif manusia dapat diperbaiki dengan berbagai cara di antaranya melatih seseorang untuk selalu berbuat baik. Melalui pendidikan karakter, manusia dapat dibentuk. Pendidikan karakter agama Hindu merupakan usaha atau upaya melalui pendidikan untuk merubah sifat buruk menjadi sifat dewata. Orang yang berkarakter adalah orang yang ekspresi hidupnya mengarah pada nilai-nilai kemanusiaan atau nilai-nilai spiritual. Menurut teks Hindu, karakter adalah sesuatu yang menjiwai tindakan-tindakan manusia di dalam kehidupan sehari-hari. Apa yang muncul, yang terekspresi di dalam pola berpikir, berbicara maupun bertindaknya tergantung dari karakternya.
Pasraman adalah lembaga pendidikan khusus bidang agama Hindu. Lembaga ini merupakan alternatif, karena pendidikan agama Hindu yang diajarkan di sekolah formal dari tingkat sekolah dasar sampai dengan di sekolah tinggi agama Hindu. Pada sekolah formal agama Hindu diajarkan sebagai ilmu pengetahuan, sedangkan di pasraman tidak sebatas ilmu pengetahuan, melainkan sebagai bentuk latihan disiplin spiritual dan latihan menata hidup yang baik.
Kata pasraman berasal dari kata “asrama” (sering ditulis dan dibaca ashram) yang artinya tempat berlangsungnya proses belajar mengajar atau pendidikan. Pendidikan pasraman menekankan pada disiplin diri, mengembangkan akhlak mulia dan sifat-sifat yang rajin, suka bekerja keras, pengekangan hawa nafsu dan gemar untuk menolong orang lain. Konsep pasraman yang berkembang sekarang diadopsi dari sistem pendidikan Hindu zaman dahulu di India, sebagaimana disuratkan dalam kitab suci Weda dan hingga kini masih tetap terpelihara. Sistem ashram menggambarkan hubungan yang akrab antara para guru (acarya) dengan para siswanya, bagaikan dalam sebuah keluarga. Oleh karena itu, sistem ini dikenal pula dengan dengan para nama sistem pendidikan gurukula. Beberapa anak didik tinggal di pasraman bersama para guru sebagai anggota keluarga dan para guru bertindak sebagai orang tua siswa sendiri. Proses pendidikan di pasraman dari masa lampau itu masih tetap berlangsung sampai saat ini dikenal pula dengan istilah lainnya yakni parampara, di Jawa dan di Bali dikenal dengan istilah padepokan atau aguron-guron. Dewasa ini di India terdapat ribuan pasraman yang diasuh oleh guru-guru kerohanian, bahkan cabang-cabang perguruan ini telah berkembang di Eropa dan di Indonesia.
Proses pembelajaran adalah suatu sistem. dalam proses ini ada beberapa komponen yang saling terkait dalam rangka mencapai tujuan. Komponen-komponen tersebut adalah siswa, guru, materi (bahan ajar), strategi (model pembelajaran). strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai pola umum aktivitas guru dan siswa di dalam mewujudkan kegiatan kegiatan belajar-mengajar. Dari pola umum kegiatan itu dapat dilihat macam dan urutan kegiatan yang ditampilkan oleh guru dan siswa. Dalam hal ini ada strategi yang lebih menekankan pada aktivitas guru, namun ada juga yang menekankan kegiatan pada siswa. Orientasi dan pendekatan ke depan haruslah ditekankan pada aktivitas siswa.
Pendidikan agama Hindu merupakan salah satu bidang studi yang harus dipelajari sebagai persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan pada semua jenjang pendidikan yang didesain dan diberikan kepada pebelajar yang beragama Hindu dengan tujuan untuk mengembangkan keberagamaan mereka. Tujuan pendidikan agama Hindu tidak terbatas pada transfer ilmu pengetahuan (Knowledge) saja, sebenarnya tujuan pendidikan agama Hindu sejalan dengan tujuan pendidikan nasional, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, yakni bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat membangun manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggungjawab terhadap pembangunan bangsa. Oleh karena itu jelas bahwa arah dan strategi pendidikan nasional adalah terbinanya manusia-manusia Indonesia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan memperhatikan aspek-aspek kecerdasan, keterampilan dan keahlian.
Pendidikan keagamaan memegang andil yang tidak kecil dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional. Pada pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 dijelaskan bahwa ada empat komponen tujuan pendidikan yang pencapaiannya menjadi beban pendidikan agama, yaitu: (1) memiliki kekuatan spiritual keagamaan; (2) pengendalian diri; (3) kepribadian; dan  (4) akhlak mulia.
Keempat komponen di atas menunjukkan betapa besar pengaruh pendidikan agama dan betapa strategisnya posisi guru agama dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan yang diharapkan tersebut di atas. Dengan kata lain guru agama memiliki peranan yang besar dalam membina moralitas bangsa.
Terkait dengan konsep di atas dimaknai bahwa pendidikan agama Hindu menghendaki perubahan tingkah laku secara menyeluruh, utuh, dan integral yang meliputi seluruh aspek (potensi) yang ada pada diri manusia karena manusia merupakan makhluk hidup yang paling sempurna di antara makhluk hidup ciptaan Tuhan lainnya, seperti tertuang dalam kitab sarasamuccaya Sloka 2 dan 4 sebagai berikut:

Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wwang juga wenang gumawayaken ikang subhasubha karma,kuneng panentasakêna ring subhakarma juga ikangasubhakarma phalaning dadi wwang.
Artinya:
Diantara semua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk, leburlah ke dalam perbuatan baik segala perbuatan yang buruk itu, demikianlah gunanya (pahalanya) menjadi manusia.

Apan ikang dadi wwang, uttama juga ya, nimittaning mangkana,wênang ya tumulung
awaknya sangkeng sangsāra, makasādhanangsubhakarma, hinganing kottamaning dadi wwang ika.’’
Artinya:
Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama, sebabnya demikian karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik, demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia.
 Kesempurnaan tersebut dilihat dari potensi dasar yang dimiliki oleh manusia itu sendiri, yaitu potensi yang memungkinkan mereka untuk berkembang dan memberdayakan alam semesta beserta segala isinya sebagai wahana mengembangkan diri dan mempertahankan kehidupannya. Ada tiga potensi dasar yang dimiliki oleh manusia, yaitu Sabda (kemampuan untuk bersuara), Bayu (Potensi berupa tenaga) dan Idep (potensi akal pikiran) yang dikenal dengan Tri Pramana. Tumbuh-tumbuhan memiliki satu potensi dasar, yaitu tenaga untuk hidup atau bayu yang disebut Eka Pramana.  Hewan memiliki dua potensi dasar, yaitu tenaga (bayu) dan sabda (suara) yang disebut Dwi Pramana. Dan manusia dikatakan paling sempurna karena memiliki tiga potensi, yaitu bayu (tenaga), sabda (suara) dan idep (akal-pikiran) yang disebut Tri Pramana. Dalam konsep Bloom disebut kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Dengan memiliki tiga potensi dasar tersebut manusia dapat membedakan perbuatan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Kemampuan berpikir atau akal yang dimilikinya dapat mengarahkan manusia dari perbuatan yang kurang baik dan mampu memperbaiki perilaku untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan. Kemampuan tersebut menjadi potensi utama bagi manusia untuk terus meningkatkan kualitas hidupnya. Secara fisik manusia adalah makhluk terlemah, tidak tahan panas, hujan, dingin, kulitnya mudah tergores, namun mereka mampu mengatasi segala kelemahan fisik yang dimilikinya dengan mengembangkan dan menciptakan teknologi sehingga mereka dapat menciptakan suasana yang aman dan nyaman, sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Dengan akal dan pikiran yang dimilikinya, manusia mampu mendayagunakan alam semesta beserta segala isinya untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya, namun pendayagunaan alam harus diimbangi dengan kecerdasan serta sikap yang arif dan bijaksana dengan penuh pertimbangan agar kelestarian alam senantiasa terjaga dengan baik, apabila alam tidak lestari, dapat menimbulkan bencana yang sangat dahsyat. Oleh karena itu mewujudkan manusia yang cerdas dan berprilaku yang baik hendaknya menjadi visi atau cita-cita pendidikan dan pembelajaran. Agar pendidikan nasional mampu mencapai tujuan tersebut, dibutuhkan suatu strategi yang mantap yaitu langkah-langkah yang disusun secara terencana dan sistematis dengan menggunakan pendekatan, metode dan teknik tertentu sebagai pola pemikiran dan perilaku pendidikan yang dapat membantu peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.

C. Pasraman  dalam Kebijakan Sisdiknas
            Sudah tidak diragukan lagi bahwa ashram memiliki kontribusi nyata dalam pembangunan pendidikan. Apalagi dilihat secara historis, ashram memiliki pengalaman yang luar biasa dalam membina dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, ashram mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya.(Sudarsana, 2008)
            Pembangunan manusia, tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau masyarakat semata-mata, tetapi menjadi tanggung jawab semua komponen, termasuk dunia ashram. Pasraman yang telah memiliki nilai historis dalam membina dan mengembangkan masyarakat, kualitasnya harus terus didorong dan dikembangkan. Proses pembangunan manusia yang dilakukan ashram tidak bisa dipisahkan dari proses pembangunan manusia yang tengah diupayakan pemerintah.(Sudarsana, 2008)
            Proses pengembangan dunia ashram yang selain menjadi tanggung jawab internal ashram, juga harus didukung oleh perhatian yang serius dari proses pembangunan pemerintah. Meningkatkan dan mengembangkan peran serta ashram dalam proses pembangunan merupakan langkah strategis dalam membangun masyarakat, daerah, bangsa, dan negara. Terlebih, dalam kondisi yang tengah mengalami krisis (degradasi) moral. Ashram sebagai lembaga pendidikan yang membentuk dan mengembangkan nilai-nilai moral, harus menjadi pelopor sekaligus inspirator pembangkit moral bangsa. Sehingga, pembangunan tidak menjadi hampa melainkan lebih bernilai dan bermakna.
            Pasraman pada umumnya bersifat mandiri, tidak tergantung kepada pemerintah atau kekuasaan yang ada. Karena sifat mandirinya itu, ashram bisa memegang teguh kemurniannya sebagai lembaga pendidikan Hindu. Karena itu, ashram tidak mudah disusupi oleh ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Hindu.
            Pendidikan ashram yang merupakan bagian dari Sistem Pendidikan Nasional memiliki 3 unsur utama yaitu: 1)  Pengasuh/Guru sebagai pendidik sekaligus pemilik ashram dan para sisya; 2)  Kurikulum ashram; dan 3)  Sarana peribadatan dan pendidikan, seperti Pura, Altar, dan Sabha Mandapan.  Kegiatannya terangkum dalam "Tri Dharma Ashram" yaitu: 1)  Kesradhaan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa; 2)  Pengembangan keilmuan yang bermanfaat; dan 3)  Pengabdian kepada agama, masyarakat, dan negara. (Sudarsana, 2008)
            Merujuk pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, posisi dan keberadaan ashram sebenarnya memiliki tempat yang istimewa. Namun, kenyataan ini belum disadari oleh mayoritas masyarakat Hindu. Karena kelahiran Undang-undang ini masih amat belia dan belum sebanding dengan usia perkembangan ashram di Indonesia. Keistimewaan ashram dalam sistem pendidikan nasional dapat kita lihat dari ketentuan dan penjelasan pasal-pasal dalam Undang-udang Sisdiknas sebagai berikut:
            Dalam Pasal 3 UU Sisdiknas dijelaskan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ketentuan ini tentu saja sudah berlaku dan diimplementasikan di ashram. Ashram sudah sejak lama menjadi lembaga yang membentuk watak dan peradaban bangsa serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia.
            Ketentuan dalam BAB III tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, pada Pasal 4 dijelaskan bahwa: (1)  Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. (2)  Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. (3)  Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. (4)  Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran. (5)  Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. (6)  Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Semua prinsip penyelenggaraan pendidikan tersebut sampai saat ini masih berlaku dan dijalankan di ashram. Karena itu, ashram sebetulnya telah mengimplementasikan ketentuan dalam penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan Sistem pendidikan nasional.
            Tidak hanya itu, keberadaan ashram sebagai lembaga pendidikan yang didirikan atas peran serta masyarakat, telah mendapatkan legitimasi dalam Undang-undang Sisdiknas. Ketentuan mengenai Hak dan Kewajiban Masyarakat pada Pasal 8 menegaskan bahwa Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Sedangkan dalam Pasal 9 dijelaskan bahwa Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Ketentuan ini berarti menjamin eksistensi dan keberadaan ashram sebagai lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat dan diakomodir dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini dipertegas lagi oleh Pasal 15 tentang jenis pendidikan yang menyatakan bahwa Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Pasraman adalah salah satu jenis pendidikan yang concern di bidang keagamaan.
            Secara khusus, ketentuan tentang pendidikan keagamaan ini dijelaskan dalam Pasal 30 Undang-Undang Sisdiknas yang menegaskan: (1)  Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2)  Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (3)  Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. (4)  Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, ashram, dan bentuk lain yang sejenis.
            Labih jauh lagi, saat ini ashram tidak hanya berfungsi sebagai sarana pendidikan keagamaan semata. Namun, dalam perkembangannya ternyata banyak juga ashram yang berfungsi sebagai sarana pendidikan nonformal, dimana para sisyanya dibimbing dan dididik untuk memiliki skill dan keterampilan atau kecakapan hidup sesuai dengan bakat para sisyanya. Ketentuan mengenai lembaga pendidikan nonformal ini termuat dalam Pasal 26 yang menegaskan: (1)  Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. (2)  Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. (3)  Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. (4) Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. (5) Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. (6)  Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan. (Sudarsana, 2008)
            Keberadaan pasraman sebagai bagian dari peran serta masyarakat dalam pendidikan juga mendapat penguatan dari UU Sisdiknas. Pasal 54 menjelaskan: (1)  Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2)  Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. 
            Bahkan, pasraman yang merupakan Pendidikan Berbasis Masyarakat diakui keberadaannya dan dijamin pendanaannya oleh pemerintah maupun pemerintah daerah. Pasal 55 menegaskan: (1)  Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. (2)  Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan. (3)  Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4)  Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
           











BAB III
PENUTUP

III. Kesimpulan
            Usaha untuk membangun atau meningkatkan mutu pendidikan menuju pendidikan yang berkualitas sangat tergantung dari kualitas SDM umat Hindu di samping keinginan baik aparat pemerintah dan pemegang kebijakan, dan terkait pula dengan kebijakan pendidikan nasional umumnya. Dalam masa transisi, kualitas pendidikan dapat ditingkatkan melalui berbagai aktivitas dalam pendidikan formal, informal dan nonformal serta jaringan internasional dengan sungguh-sungguh memperhatikan aspek (pendidikan) moralitas. Di negara maju sekalipun, moralitas ataupun integritas seseorang dan masyarakat sangat menentukan.





















DAFTAR   PUSTAKA


Depdiknas RI. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas RI.

Geriya, Wayan. 2004. Pasraman dan revitalisasi jati diri. http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2004/1/9/op2.htm.

Kajeng, Nyoman. 1997. Sarasamuccaya. Surabaya: Paramita.

Mantik, Agus. 2006. Pasraman dalam rangka sisdiknas. http://www.iloveblue.com/printnews.php?jenis=article&pid=1708.

Noer, Kautsar Azhari, 2001. Pluralisme dan Pendidikan di Indonesia : Menggugat Ketidak Berdayaan Sistem Pendidikan Agama, Dalam Jurnal Pluralisme No. 7 Edisi Juni 2006, Yogyakarta : Institut Dian.

Sapta Wiguna, I Wayan. 2015. Pesraman Sebagai Media Pendidikan. http://www.majalahraditya.com. Diakses Tanggal 7 Mei 2016.

Sudarsana, I Ketut. 2008. Pengembangan Asram dalam Kerangka Sisdiknas. https://iketutsudarsana.file.wordprees.com. Diakses Tanggal 7 Mei 2016.

Suryanto, 2004, ‘Problematika Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Hindu di Indonesia, Sebuah Kajian dari Perspektif Pendidikan Hindu Tradisional Model Gurukula di India’, Tesis Universitas Negeri Yogyakarta: Yogyakarta

Tilaar. 2001. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta; Rineka Cipta

Titib, Made. 1996. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya : Paramita.

Wiana, I. K., Penerapan Ajaran Weda di Bali, Majalah Hindu Raditya, Juni 2000, hal 26.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar